Selasa, 29 September 2015

How to Mend a Broken Heart?

As human, one of the greatest gift life can give is to love. Fall in love, fall deeply in love, falling in love, and lastly fell in love. 

Break-ups are nasty,
it makes you stay awake at nights, it makes foods don't have a taste, it makes you feel like it's impossible to believe anymore, to fall in love once again. 

I am 21 years old, and this wasn't my first relationship. I have loved others before, but this one, it was special. I loved this person with all my heart. Foolish enough to think that it would last forever. When I fell in love, like John Green said in one of his novels, I fell slowly and then all at once. Yes, it was all at once. I really gave my heart completely. 

But at one point I realized, that this won't end as a happy ending. First of all, it was a long distance relationship, and let me tell you, it's a bitch. I have fell into its trap for some times now and I really not willing to try again. Don't get me wrong, some people can nail it, but maybe.. not me. And it's not because I cannot bear the coldness of internet, but the fear of losing hope. 

It happened, and unfortnately, it wasn't me, it was my partner who lost the hope. I appreciate her honesty, but man.. How hurt it made me feel. How. Hurt. This happens when a person you love broke your trust: at first it feels so hurt, you can feel nothing but sadness, drowning in sadness, until you learn to swim on it, but to swim on the sadness in order overcome it, you would feel nothing, your heart is empty. And the worst is.. You don't know when you could trust someone again. Trust that whole new person your imperfect heart. 

But you know what?
This is life. This is the life we live and we should celebrate it. Even the hardest parts of it.. Break-ups, failures, even death, we celebrate with mourning, grieving, sleepless nights and as many tasteless foods possible. 

And then we rise. 

We rise. Because life is going on, 


Minggu, 01 Maret 2015

'Gimana Ntar' dan 'Ntar Gimana'

Apa sih yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kedua kalimat itu? Terdiri dari kata yang sama loh, cuma posisinya aja yang terbalik, satunya 'gimana ntar' dan yang satunya lagi 'ntar gimana'. Cuma masalah beda posisi saja? Menurut saya sih arti dari kedua kalimat itu berbeda sekali, dan sangat berperan dalam menentukan jalannya hidup kita. Kenapa begitu? 

Dulu saya termasuk orang yang sangat sangat santai. Kalau ada tugas presentasi? Baca bahan sekenanya deh, lalu sisanya.. Gimana ntar saja deh. Belum lancar nyetir mobil? Suka malas latihan dan selalu berpikir.. Gimana ntar saja deh. Tau minggu depan ada kuis? Kalo ada niat ya belajar, kalo gak ada ya.. Gimana ntar saja deh. 

Tapi kemudian sebuah realization menghantam saya. Yang namanya niat, mau ditunggu sampai kapan juga tidak akan pernah datang sendiri. Kitalah yang harus mengumpulkan sendiri niat itu. Apa sih gunanya niat? Ya untuk jalan hidup kita tentunya. Saya juga kemudian berpikir bahwa paham 'gimana ntar' tidak akan membawa saya kemana-mana, apalagi selangkah lebih dekat mendekati impian saya.

Jadi sayapun mulai berkutat merubah pola pikir yang sudah lama mengendap di alam bawah sadar, yaitu bangaimana caranya merubah 'gimana ntar' menjadi 'ntar gimana'.
Ada tugas presentasi.. Ntar gimana ya? Kalau ada yang nanya pertanyaan tentang ini bagaimana ya? Kalau powerpointnya seperti ini kira-kira bagaimana ya? Sudah sesuai belum? 
Ada kuis minggu depan.. Ntar gimana ya kuisnya? Apa saja sih yang perlu dipersiapkan dan materi apa saja yang perlu saya perdalam ya?

Sedikit demi sedikit saya mulai mencoba perubah sifat saya yang serba cuek (menurut saya sendiri saya adalah orang yang amat sangat nyantai) dan mulai take more responsibility of my own life. Saya mulai mencoba untuk tidak lagi mengeluhkan tugas demi tugas, dan mulai mengalihkan pemikiran saya kepada bagaimana ya cara menyelesaikan semua ini dengan baik? Saya sadari, dengan berubahnya pola pikir saya yang sedikit demi sedikit itu, saya merasa saya berubah menjadi orang yang lebih perfeksionis daripada sebelumnya. Saya masih belum tahu itu hal yang baik atau buruk, tapi apa yang saya tahu adalah, too much is never good. So, saya ingin yang seimbang-seimbang saja dalam hidup saya. 

Hal lain yang saya pikirkan adalah dengan berpandangan lebih kedepan dan memikirkan 'ntar gimana' untuk masa depan saya. Juga untuk hidup saya secara keseluruhan. Saya tahu bahwa kita hidup untuk hari ini. Tapi saya benar-benar merasa pemikiran saya dahulu yang lebih mengarah ke 'gimana ntar' tidak menuntun saya kemana-mana, saya seperti jalan di tempat setiap harinya, dan jujur itu menakutkan untuk saya. 

Dan satu hal lagi yang berubah karena 'ntar gimana'.. saya merasa lebih berani untuk memimpikan impian saya, karena saya tahu, saya sudah selangkah lebih dekat. Istirahat yang saya dapat terasa lebih berharga, karena saya mendapatkannya setelah mengerjakan sesuatu.


Rabu, 25 Februari 2015

Kasih Ibu Sepanjang Masa

Ingat lagu ini?

Kasih ibu, kepada beta..
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Masih ingat? Mungkin jawabannya, belakangan ini tidak.
Berjalannya waktu, serta sibuknya pencarian jati diri dan tempat saya di masyarakat tanpa disadari terkadang membuat saya lupa betapa besarnya arti kehadiran dan peranan ibu dalam hidup saya. Dunia masa kecil yang memang rasanya jauh lebih kecil dan sederhana daripada masa penjajakan menuju dewasa yang saat ini sedang saya tempuh (dan terkadang dengan susah payah), kerap kali membuat saya lupa menghargai ibu saya yang juga mulai menua.

Dulu, dimasa kecil, dialah ratu hidup saya. Pagi, siang dan malam di masa kecil saya habiskan untuk menunggunya pulang kantor, menyambut klakson mobilnya dengan girang tiada tara, puas karena penantian seharian terbalas dengan senyumnya yang menjadi sumber kenyamanan hati ini, tanpa tanda-tanda lelah diajaknya saya berkeliling gang kompleks rumah barang dua atau tiga kali putaran. Hati anak kecil saya yang kurang peka waktu itu, tidak melihat lebih dalam daripada kesenangan, tapi kini setelah merasakan sibuknya kuliah dan hari yang dipenuhi kegiatan dari pagi hingga malam, saya mulai dapat membayangkan, betapa lelahnya ibu saya, dan betapa besarnya rasa letih yang setiap hari dia abaikan dulu, demi memuaskan saya yang minta diajak 'keliling'.

Ibu saya memang selalu sibuk bekerja, dan dia baik dalam pekerjaannya. Saya mengagumi dia, terlebih ketika saya tahu, amat sangat banyak andil dan pengorbanan yang dia lakukan untuk membangun keluarga ini, dengan kata lain, membesarkan saya dan adik. Tak dapat saya pungkiri dengan segenap penyesalan, bahwa saya adalah anak yang egois. Lama setelah hari-hari yang saya habiskan di masa kecil menanti klakson mobilnya di ruang depan (bahkan kadang teras rumah), saya tumbuh lebih dan lebih tak acuh terhadapnya. Ya, kini saya punya dunia sendiri, dan dia rasanya amat jauh dari dunia saya. Tidak saya sadari sama sekali, bahwa ternyata dia selalu ada, dia tetap ibu saya yang dengannya saya memiliki memori indah masa kecil yang tak ternilai harganya, dan akan selalu saya simpan seumur hidup saya. Bahkan ditengah perjuangannya melewati hari demi hari bersama penyakitnya, ternyata tak sedikitpun rasa pedulinya berkurang terhadap saya.


Saya tidak akan mengatakan bahwa kami memiliki hubungan ibu-anak yang sempurna luar biasa, namun apa yang kami lewati, arti ibu saya bagi saya, tidak dapat saya jelaskan dengan kata-kata. Dialah panutan saya, orang yang saya kagumi, seseorang yang saya harap, suatu ketika nanti, saya dapat menjadi seperti dirinya, punya hati selapang dirinya. 

Sewaktu kecil saya tidak begitu memahami arti lagu Kasih Ibu yang kerap saya nyanyikan di kelas ketika TK, namun sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, saya menyadari makna lagu itu dengan pemahaman saya sendiri, dengan pengalaman manis pahitnya hidup yang saya lewati bersama ibu saya selama 20 tahun, dan akhirnya saya paham, bahwa ibu saya akan selalu ada bersama saya, sekarang dan selama saya hidup di dunia, dia akan selalu jadi ratu di hati saya.